BERITA SENI BUDAYA & WISATA

Di Foto Oleh : Dedy Rachman
JEMBATAN KOTA INTAN


Nama Bangunan :
Jembatan Gantung Kota Intan
Nama Bangunan Lama :
Ophalsbrug Juliana /Grote Boom/ Het Middle puntbrug/Hoender Pasarbrug

Alamat :
Jl. Nelayan Barat / Jl. Tiang Bendera
Kel. Roa Malaka Kec. Tambora Jakarta Barat
Jakarta 11230
Pemilik :
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Keterangan :
Dibangun pada tahun 1630, jembatan ini merupakan jembatan gantung tertua di Jakarta. Pembangunannya pada tahun 1937 (sebelum perang) atas usaha beberapa orang swasta yang tergabung dalam Stichting Oud Batavia. Mereka berhasil mengumpulkan dana untuk memperbaiki jembatan yang separuhnya sudah tenggelam, sedangkan Balaikota pada saat itu sudah mempunyai rencana untuk menghancurkannya. Jembatan ini diberi nama Ophaalbrug yang artinya Jembatan Gantung yang bisa diangkat dan diturunkan bila ada kapal yang melintas seperti terdapat di Amsterdam. Jembatan tersebut semula (1630) bernama Jembatan Pasar Ayam (Hoender Pasarbrug) atau Jembatan Pohon Besar (Grote Boom). Jembatan dalam bentuk yang permanen dibuat pada tahun 1655 dengan nama Jembatan Pusat (Het Middle Puntbrug). Pada bulan Juni 2000 jembatan ini dipugar oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta c.q. Dinas Museum dan Pemugaran Provinsi DKI Jakarta, sesuai bentuk bangunan aslinya.
Arsitektur : Bergaya Eropa (Tradisional Belanda).
Golongan : A
Sumber : Dinas Pariwisata Dan kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.

LENONG
Lenong adalah teater tradisional Betawi. Kesenian tradisional ini diiringi musik gambang kromong dengan alat-alat musik seperti gambang, kromong, gong, kendang, kempor, suling, dan kecrekan, serta alat musik unsur Tionghoa seperti tehyan, kongahyang, dan sukong. Lakon atau skenario lenong umumnya mengandung pesan moral, yaitu menolong yang lemah, membenci kerakusan dan perbuatan tercela. Bahasa yang digunakan dalam lenong adalah bahasa Melayu (atau kini bahasa Indonesia) dialek Betawi.

Sejarah
Lenong berkembang sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Kesenian teatrikal tersebut mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi atas kesenian serupa seperti “komedi bangsawan” dan “teater stambul” yang sudah ada saat itu. Selain itu, Firman Muntaco, seniman Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang dari proses teaterisasi musik gambang kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak tahun 1920-an.
Lakon-lakon lenong berkembang dari lawakan-lawakan tanpa plot cerita yang dirangkai-rangkai hingga menjadi pertunjukan semalam suntuk dengan lakon panjang dan utuh.
Pada mulanya kesenian ini dipertunjukkan dengan mengamen dari kampung ke kampung. Pertunjukan diadakan di udara terbuka tanpa panggung. Ketika pertunjukan berlangsung, salah seorang aktor atau aktris mengitari penonton sambil meminta sumbangan secara sukarela. Selanjutnya, lenong mulai dipertunjukkan atas permintaan pelanggan dalam acara-acara di panggung hajatan seperti resepsi pernikahan. Baru di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung.
Setelah sempat mengalami masa sulit, pada tahun 1970-an kesenian lenong yang dimodifikasi mulai dipertunjukkan secara rutin di panggung Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selain menggunakan unsur teater modern dalam plot dan tata panggungnya, lenong yang direvitalisasi tersebut menjadi berdurasi dua atau tiga jam dan tidak lagi semalam suntuk.
Selanjutnya, lenong juga menjadi populer lewat pertunjukan melalui televisi, yaitu yang ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia mulai tahun 1970-an. Beberapa seniman lenong yang menjadi terkenal sejak saat itu misalnya adalah Bokir, Nasir, Siti, dan Anen.

Jenis lenong
Terdapat dua jenis lenong yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong denes (dari kata denes dalam dialek Betawi yang berarti “dinas” atau “resmi”), aktor dan aktrisnya umumnya mengenakan busana formal dan kisahnya ber-seting kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, sedangkan dalam lenong preman busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari. Selain itu, kedua jenis lenong ini juga dibedakan dari bahasa yang digunakan; lenong denes umumnya menggunakan bahasa yang halus (bahasa Melayu tinggi), sedangkan lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari.
Kisah yang dilakonkan dalam lenong preman misalnya adalah kisah rakyat yang ditindas oleh tuan tanah dengan pemungutan pajak dan munculnya tokoh pendekar taat beribadah yang membela rakyat dan melawan si tuan tanah jahat. Sementara itu, contoh kisah lenong denes adalah kisah-kisah 1001 malam. Pada perkembangannya, lenong preman lebih populer dan berkembang dibandingkan lenong denes. (Sumber Wikipedia)